Rabu, Februari 13, 2013

Para ulama Sumbar Melarang Tegas Umat Muslim Turut Merayakan Valentine’s Day

Merayakan Valentine’s Day


Para ulama Sumbar melarang tegas umat muslim turut merayakan Valentine’s Day atau Hari Valentine, Kamis (14/2) depan. Ulama mene­gaskan, merayakan Hari Kasih Sayang—sebutan Hari Valentine, bukanlah bu­daya orang Islam.

Ketua MUI Padang, Duski Samad menegaskan, perayaan Hari Valentine haram bagi umat Islam. Menurutnya, tradisi itu merupakan kebiasaan orang kafir. Haram hukumnya bila diikuti umat Islam. ”Orang kafir yang meraya­kan Hari Valentine, kenapa kita mau mengikuti kebiasaan mereka,” tegasnya.

Dia menyatakan, dalam referensi Islam dan budaya Minangkabau, tidak ada mengatur tentang Hari Valentine. ”Valentine itu ujung-ujungnya hanya per­gaulan bebas,” katanya.

Jika dikaitkan dengan moral, Hari Valentine cenderung mendorong orang permisif dan mendorong orang me­lang­gar norma-norma. Dalam pandangan siapa pun termasuk MUI, Hari Valentine adalah bentuk pengrusakan budaya sistemik dari luar, pengrusakan budaya kepatutan orang Timur.

Untuk itu generasi muda harus didorong agar tidak rentan terhadap budaya asing. ”Dengan cara memperkuat identitas diri,” ujarnya.

Orangtua katanya, harus punya peranan penting, mencerdaskan, me­ngingatkan, serta mendidik anak-anak­nya untuk tidak mudah larut dalam situasi yang ada. Orangtua harus ber­peran memberikan pemahaman tentang nilai dan norma yang baik dan tidak membiarkan anak-anaknya ikut serta merayakan Hari Valentine tersebut. Padahal, jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. ”Seharusnya orangtua melarang anaknya, bukan mengi­zinkan mereka ikut merayakan Hari Valentine,” ujarnya.

Larangan merayakan Valentine juga diserukan Muhammadiyah Sumbar. Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiya Sumbar, Dasril Ilyas menegaskan, Hari Valentine bukan budaya Islam, dan itu diharamkan. Sebab, segala perbuatan yang dapat membawa ke arah maksiat, jelas tidak diperbolehkan dalam agama Islam. ”Hari Valentine digagas lelaki play boy yang non-Islam. Orang-orang yang mendambakan kehi­dupan bebas dan pergaulan bebas. Mereka ini me­ngang­gap Hari Valentine sebagai lam­bang kasih sayang. Itu yang ditiru dan dikem­bangkan oleh orang-orang di luar Islam,” ungkap Dasril yang baru sembuh dari sakitnya.

Islam melarang merayakan Hari Valentine, karena cenderung mengarah kepada perbuatan maksiat. ”Hari Valentine diharamkan, karena akibatnya sudah sangat jelek bagi anak-anak remaja kita,” katanya.

Bahkan, Unicef merilis rata-rata setiap tahun, 2,5 juta jiwa remaja Indonesia melahirkan di luar nikah, akibat pergaulan bebas. Banyak temuan kasus remaja yang hamil di luar nikah, ter­masuk di Padang. ”Saya selaku pimpinan Muhammadiyah sangat tidak setuju dengan Hari Valentine,” katanya.

Dasril juga mengatakan, seharusnya generasi muda di Sumbar justru lebih mengedepankan adat dan budaya Mi­nang­kabau. Karena, adat Minang tidak bertentangan dengan agama. Bukan meniru kebiasaan Barat, dengan me­ngum­bar kasih sayang berujung maksiat. ”Saya sangat tidak setuju, generasi Minang ikut-ikutan merayakan Hari Valentine, itu haram,” jelasnya.

Dia berharap, agar orangtua lebih memperhatikan lagi tingkah dan ke­biasaan anak-anaknya, jangan sampai mengizinkan begitu saja mereka untuk ikut memperingati hari kasih sayang orang kafir. ”Orangtua sangat berperan terhadap pembentukan moral seorang anak,” ucapnya.

Kembangkan Budaya Sendiri 
Lembaga Kerapatan Adat Alam Mi­nangkabau (LKAAM) Sumbar, juga menyampaikan keprihatinannya ter­hadap perilaku generasi muda Minang, umumya turut serta menyambut dan merayakan Hari Valentine.

Ketua LKAAM Sumbar, M Sayuti Datuk Rajo Pangulu mengatakan, tradisi pemuda dan pemudi Minang saat ini dikuasai kebiasaan Barat. Tidak pandai memilah dan menyaring penga­ruh dari luar, menyebabkan anak ke­menakan di Minangkabau mudah ter­jerumus pada kebiasaan tidak mencerminkan budaya Minang itu sendiri. Budaya Barat sangat ber­tentangan dengan budaya Minang. Dia menjelaskan, sebagai orang Minang tentu mengetahui bahwasanya ”Adaik basandi sara’, Sara’ basandi jo kita­bullah”, bila bertentangan dengan itu, berarti bukan budaya Minang.

Perihal Hari Valentine yang telah meracuni pikiran generasi muda, Sayuti mengatakan, seharusnya budaya Mi­nanglah yang mempengaruhi budaya Barat. Minangkabau menyimpan begitu banyak tradisi dan kebudayaan yang elok ditiru, namun karena orang Minang itu sendiri yang tidak mau membiasakan diri untuk membumikan tradisinya di ranah Mi­nang ini. ”Kalau generasi mempo­puler­kan baju kurung, saya yakin orang-orang Barat sana akan memuji Minang. Tapi kalau kita selalu mengikuti cara ber­pakaian, penampilan, dan ke­bias­aannya, ini akan membuat mereka berpikir Minangkabau tidak punya jati diri, seperti Hari Valentine ini, orang Barat merayakan, orang Minang juga ikut,” tuturnya serius.

Untuk menghilangkan dan mengikis habis tradisi adopsi Barat tersebut, dia berharap pemerintah, masyarakat, ninik mamak, para ulama turut andil dalam menyikapi hal ini. Karena, kebiasaan-kebiasaan Barat ini, bila tidak dipu­nahkan akan berakar di pikiran generasi muda dan dapat menghilangkan budaya Minang itu sendiri nantinya. ”Ini masa­lah kita bersama, dan kita harus mem­berantas budaya yang dapat mengikis budaya Minang,” jelasnya.

Menipisnya moral dan etika generasi muda Minang saat ini juga akibat pe­ngaruh budaya luar. Diakuinya, mengu­bah ke­biasaan dan membangkitkan kembali kecintaan generasi muda ter­hadap budaya Minang tidaklah mudah, karena proses membentuk suatu budaya dan kebiasaan dibutuhkan waktu yang sangat lama. Namun, jika ini tidak ditanggulangi secara bersama-sama, budaya Barat akan terus berakar di tanah Bundo Kanduang ini. ”Mengubah kebia­saan tidak semudah membalik telapak tangan, perlu waktu panjang untuk mewujudkankannya. Tapi akan mustahil tercapai, bila tidak diperhatikan bersa­ma,” ucapnya.

Ketua LKAAM ini juga berharap pada Hari Valentine nanti, pemerintah menu­tup tempat-tempat rekreasi yang meru­pakan tempat strategis generasi muda untuk mencurahkah kasih sayangnya. Dan dia ber­harap juga, sebaiknya tanggal 14 Fe­b­ruari dijadikan sebagai tanggal mem­bumikan budaya Minang, bukan budaya orang lain. ”Sebaiknya peme­rintah Sumbar menjadikan tanggal 14 Februari itu sebagai hari rendang, dan digelar lomba memasak rendang setiap tanggal tersebut. Dengan cara itu, kita bisa merangkul generasi muda untuk ikut mengembalikan tradisi Minang. Jadi saat datang Hari Valentine itu, generasi muda sibuk dengan persiapan untuk merendang,” paparnya. (***)

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer